sejarah pendidikan pada masa pendudukan jepang

bukittinggi blogger| sejarah pendidikan pada masa pendudukan jepang

 
1. Pendidikan Pemerintah
 
sejarah pendidikan | bukittinggi blogger
Pada dasarnya pendidikan di Sumatera Barat sewaktu Jepang berkuasa tidak teratur. Sekolah Dasar yang agar teratur diberikan pelajaran sekali atau dua kali seminggu hanya di kota kota saja, seperti Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Solok, Pariaman, Batusangkar, dan Padang Panjang. Sedangkan sekolah di tempat lainnya tidak berjalan sebagaimana mestinya, guru dan murid masing-masing sibuk mengurus dirinya sendiri, bahkan banyak murid yang meninggalkan bangku sekolah tanpa dapat diawasi oleh guru atau Kepala Sekolah.
 
Di Kota-kota pelaksanaan sekolah tidak berjalan lancar, karena banyak murid yang dipaksa ikut bergotong royong membuat jalan baru atau berkebun di sekitar sekolah untuk menambah atau mencukupi kebutuhan Jepang akan bahan makanan yang mereka perlukan untuk keperluan perang.
 
Jenis sekolah yang banyak waktu itu di Sumatera Barat adalah Sekolah Dasar 6 tahun, Jepang menyeragamkan seluruh sekolah dasar menjadi Sekolah Dasar 6 tahun dengan nama Sekolah Nippon Indonesia ( S N I ) atau dalam bahasa Jepang disebut "Kokumin Gakko".

 Dengan penyeragaman itu, maka Sekolah Dasar 6 tahun hampir terdapat di seluruh daerah Sumatera Barat, terutama di daerah yang dahulunya menjadi ibukota Keresidenan, Kewedanaan, Kedemangan, dan nagari-nagari yang menjadi ibukota Kelarasan. Bagi daerah yang dianggap Jepang tidak mampu atau terlampau jauh dan pengawasan seperti daerah pegunungan, sekolahnya dihapuskan saja dan muridnya disuruh menggabung kepada Sekolah Dasar yang terdekat dengan daerah tersebut.


 Sedangkan pendidikan Menengah di Sumatera Barat hanya terdapat di Bukittinggi dan Padang, Jepang membatasi jumlah Sekolah Menengah dengan maksud supaya mudah melakukan pengawasan. Yang boleh masuk Sekolah Menengah Jepang ini hanyalah orang yang terpilih melalui Kepala Sekolah Dasar setempat. Orang yang dipilih adalah pemuda yang tegap badannya dan sehat jasmaninya, karena di samping belajar mereka juga disuruh mengerjakan beberapa pekerjaan lain untuk kepentingan Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang Sekolah Menengah tidak dibagi dua seperti sekarang, yaitu Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, melainkan Sekolah Menengah saja. Sebaliknya Sekolah Kejuruan memang agak banyak macamnya walaupun hanya terdapat di Padang dan Bukittinggi saja. Sekolah Kejuruan yang ada pada waktu itu adalah Sekolah Pertanian, Sekolah Teknik, Sekolah Polisi, Sekolah Pamong. Sekolah itu banyak jumlahnya adalah karena dibutuhkan oleh Jepang dalam memberikan bantuan terhadap keberhasilan perangnya. Tenaga mereka diperbantukan pada kantor Jepang atau dilatih dengan latihan kemiliteran untuk kemudian dibawa ke medan perang.

 Perguruan Tinggi pada wktu itu memang tidak ada di Sumatera Barat sesuai dengan kebijaksanaan Jepang yang hanya mengizinkan Perguruan Tinggi di Jawa saja.

 
Sekolah non-formal pada waktu Jepang berkuasa di Sumatera Barat agak banyak didirikan oleh Jepang melalui organisasi kepemudaan seperti Seinendan,  Kaibodan,  Bogodan, yang dilatih secara kemiliteran. Pendidikan untuk mereka dimaksudkan untuk dapat mempersiapkan diri menjaga kampong mereka masing-masing, tetapi sesungguhnya mereka dipersiapkan sebagai tenaga cadangan apabila tentara Jepang sudah kurang. Disamping itu ada perkumpulan wanita yang bernama Hahanokai yang bertugas pada dapur umum atau menghibur tentara yang sedang berjuang di garisdepan. Tetapi kebanyakan tugas dari Hahanokai adalah mempersiapkan perbekalan bagi tentara Jepang dan menghibur orang-orang Jepang, terutama para opsir Jepang yang baru kembali dari garis depan.

 
Masalah pendidikan pada waktu Jepang berkuasa di Sumatera Barat ini membawa akibat yang baik dan yang buruk. Buruknya adalah anak tidak diberi pelajaran sebagaimana mestinya, tetapi disuruh kerja bakti atau gotong royong mengerjakan kepentingan Jepang. Beberapa kali seminggu anak-anak disuruh gotong royong menanam ubi, lebih-lebih setelah dekat kekalahannya terhadap Sekutu. Moral anak-anak menjadi rusak, karena tindakan tentara Jepang yang tidak mendidik seperti memarahi seorang guru di hadapan muridnya. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak-anak yang sedang berkembang itu. Mereka serta merta dapat meniru perbuatan Jepang tersebut terhadap orang lain, walaupun terhadap orang yang lebih tua sekalipun. Karena keadaan seperti itu tidak ada yang melarang, lama-lama anak-anak menjadi biasa dengan perbuatan tersebut, bahkan tidak jarang seorang anak melawan kepada orang tuanya karena masalah yang kecil saja. Di samping itu anak-anak sekolah termasuk juga orang dewasa dipaksa mengikuti dan menirukan kebiasaan orang Jepang seperti "seikere" menghadap ke Jepang (matahari terbit) setiap pagi, diwajibkan menyanyikan lagu-lagu Jepang di sekolah, memberi hormat kepada orang Jepang walaupun pangkatnya rendah. Hal tersebut ada hubungannya dengan maksud Jepang untuk men-Jepangkan orang Indonesia seperti yang mereka lakukan di Mansyuria. Tetapi akibatnya bagi anak-anak Sumatera Barat mereka dapat melupakan kebudayaan dan kebiasaan mereka sendiri yang telah merupakan warisan turun-temurun. Dalam melakukan kebiasaan itu, orang Jepang memerintahkan dengan keras, barang siapa yang tidak mau melaksanakan segera dihukum di hadapan khalayak ramai dengan jalan menamparnya berulang-ulang. Akibat pendidikan seperti itulah yang sangat buruk pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak-anak.

 
Sebaliknya akibat yang baik dari pendidikan zaman Jepang adalah menyeragamkan seluruh tahun ajaran Sekolah Dasar. Hal ini baru pertama kalinya terjadi di Indonesia semenjak Indonesia dijajah oleh Belanda. Dengan adanya keseragaman dalam waktu pendidikan, masalah penyelenggaraan dan pengawasan sekolah mudah dilakukan serta kurikulumnya dapat di buat dengan lebih baik dan seragam. Dengan demikian pengetahuan murid Sekolah Dasar pada waktu Jepang itu dalam teorinya sama di manapun sekolah itu diadakan. Tetapi sayangnya isi pelajaran waktu itu sangat rendah mutunya, walaupun kebanyakan dari guru adalah yang telah berpengalaman semenjak zaman Belanda dahulu. Rendahnya mutu sekolah disebabkan

Jepang banyak campur tangan dengan memberikan latihan kemiliteran dan menyuruh bergotong royong sehingga tidak ada kesempatan bagi guru mengajar dengan baik. Kalau tidak bergotong royong atau latihan kemiliteran, anak-anak hanya diajar menyanyikan lagu-lagu Jepang yang sangat mengganggu jam pelajaran di sekolah. Murid-murid yang tidak datang kesekolahpun tidak mendapat teguran sama sekali dari majelis guru, karena mereka tidak berdaya sama sekali. Keseragaman sekolah yang baik itu tidak diisi Jepang dengan materi pelajaran yang cocok buat anak didik yang sedang berkembang itu. Keadaan seperti ini akan jauh pengaruhnya sesudah Indonesia merdeka, karena pada waktu itulah anak-anak yang mendapat pendidikan Jepang itu mengalami masa dewasanya dan ikut menyelenggarakan kehidupan bangsanya.
 

Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi di kantor dan di sekolah. Hal ini baik untuk perkembangan bahasa Indonesia di kemudian hari.
 
Dengan berkembangnya bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, rasa persatuanpun dengan mudah dapat digalang dan dibina dengan baik di tengah masyarakat, karena sekarang mereka dengan mudah dan dimengerti orang lain untuk mengemukakan perasaan dan buah pikirannya. Dengan dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, keuntungan bukan saja dalam pengembangan bahasa itu saja, tetapi dapatnya dibina kesatuan bangsa dengan cepat, suatu kondisi yang diperlukan dalam mencapai Indonesia merdeka.

 Disamping pendidikan formal yang diberikan Jepang di sekolah kepada rakyat Sumatera Barat, juga diberikan pendidikan non-formal yang merupakan pendidikan kemiliteran. Kepada pemuda diajarkan peraturan baris berbaris dan disiplin militer. Lembaga pendidikan khusus untuk pendidikan militer ini seperti Heiho dan Gyugun yang terdapat di Padang dan Bukittinggi.
  
Dalam Gyugun pemuda Sumatera Barat ditempa secara pisik dengan berat yang menyebabkan mereka menjadi orang yang berhati keras. Banyak di antara mereka yang dilatih dalam Gyugun kemudian menjadi pemimpin sampai sekarang. Pada awal kemerdekaan Indonesia mereka itulah yang membimbing rakyat Sumatera Barat ke arah perjuangan yang benar sehingga keamanan dapat dipertahankan di Sumatera Barat. Waktu Perang Kemerdekaan mereka jugalah yang membina dan mengatur perlawanan rakyat yang menguntungkan bagi rakyat Sumatera Barat.
 

2. Pendidikan Swasta

 Sekolah swasta tidak berkembang selama Jepang menduduki Sumatera Barat, karena mereka mengawasi sekolah swasta itu dengan sangat ketat sekali. Sekolah swasta yang dapat dibuka apabila mendapat pengawasan langsung dan Jepang atau diselenggarakan oleb Jepang sendiri. Sekolah swasta yang dibuka sudah kehilangan kepribadian. Kinrohosi, seikere menghadap Tokyo, menyanyikah lagu-lagu Jepang, belajar bahasa Jepang terpaksa dilakukan.

 Kebanyakan sekolah swasta yang dibuka hanya tingkatan Sekolah Dasar seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah. Landasan pendidikan pada zaman pendudukan Jepang adalah mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dengan Jepang untuk mencapai Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya yang selalu didengung-dengungkan melalui gerakan militer. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai adalah mendapat tenaga cuma-cuma dan prajurit untuk membantu peperangan yang sedang dilakukan.
 
Berdasarkan landasan dan tujuan pendidikan itu Jepang melakukan dan menyelenggarakan latihan kemiliteran dan gotong royong serta kerja bakti.





sumber: pakguruonline



Related Article:

0 komentar:

Posting Komentar


 

FOLLOWER

TRANSLATE

PENCARIAN ARTIKEL